Resensi Buku: Sosok Inspiratif di Destinasi Pariwisata Indonesia 2
Judul buku : Buku Sosok Perempuan Inspiratif di Destinasi Pariwisata Indonesia 2
Pengarang : Fitri Ratna Irmalasari
Penerbit : Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (KEMENPAREKRAF)
Kota terbit : Jakarta.
Tahun terbit : 2023.
Ketebalan : 210 Halaman.
ISBN : 978-602-6551-33-7
Pendahuluan
“Di Indonesia, perempuan memegang peran strategis dalam pengembangan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dan menjadi pilar kesejahteraan masyarakat sekaligus penjaga tradisi dan budaya Indonesia.” Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia). Oleh karenanya, dalam mendorong aspirasi untuk keberlanjutan pariwisata melalui kiprah, kisah, dan karya perempuan-perempuan insipiratif yang turut berkontribusi dalam proses pengembangan pariwisata di Indonesia, Sekertaris Kemenparekraf, Ibu Ni Wayan Giri Adnyani menginisiasi ide pembuatan buku non fiksi berjudul “Sosok Perempuan Inspirartif di Destinasi Pariwisata Indonesia 2” sebagai lanjutan dari buku serupa yang terbit di tahun 2022 dan ditulis oleh Fitri Ratna Irmalasari. Dalam pembuatannya, penulis mewawancara 10 perempuan berusia 26 hingga 60-an tahun untuk mendengarkan kisah mereka.
Mereka adalah perempuan yang memilih jalan hidup untuk kembali pada desanya, mengabdikan diri, membawa optimisme semangat untuk memajukan daerah yang telah menyatu dengan jiwanya. Meski dalam rintisan gerakannya untuk melindungi Ibu Bumi pernah terjegal sinisme masyarakat lainnya; meski berkarya di tengah lingkungan yang didominasi laki-laki dan pemikiran patriarki; Meski upayanya dalam mempertahankan tanah luhurnya harus bersinggungan dengan banyak pihak berkepentingan; menjadi yang termuda sebagai penggerak; dan sejumlah tantangan lainya yang harus dihadapi dengan ikhlas dan tabah, sepuluh sosok perempuan tersebut berhasil membuktikan bahwa optimismenya telah membawa perubahan dengan dampak yang positif. Sepuluh perempuan tersebut ialah Agni Malagina (Lasem Heritage), Margaretha Subekti (Labuan Bajo), Sri Rahayu Hasiba (Kuta Mandalika), Margareta Mala (Desa Wisata Menua Sadap), Agrapina Sanggur (Desa Wisata Soinrat), Sri Mujiyati (Yogyakarta), Enggelima Dimara (Desa Wisata Saporkren).
Melalui buku ini, Fitri Ratna Irmalasari berhasil membuka wawasan pembaca terhadap kisah juang perempuan di berbagai belahan daerah di Indonesia yang mungkin tak sempat terucap pada dunia. Membuktikan bahwa menjadi perempuan penggerak dan pelestari tidaklah mudah. Juga menjadi inspirasi untuk perempuan lainnya agar terus berjuang dan tetap menjadi diri sendiri untuk kemajuan desa agar tidak lagi menjadi daerah yang tertinggal, tergerus modernisasi dan menjadi desa yang memiliki daya tarik wisata mendunia.
Agni Malagina (Lasem Heritage)
Kesengsem Lasem. Begitulah sosok Agni Malagina menamakan gerakan di kampung leluhurnya yang kini membuatnya menetap dan berkarya bersama pemuda dan perempuan lainnya. Agni mulai jatuh cinta dengan Lasem setelah sahabatnya -Ferry memperkenalkan daerah ini kepadanya. Siapa yang menyangka, bahwa kota kecil di Kabupaten Rembang ini malah membuatnya mengagumi setiap inci dari tiap hal yang ada di sana. Tahun 2005 adalah kali pertama Agni mengunjungi Lasem dan berkenalan dengan masyarakat setempat. Selanjutnya pada tahun 2016 ia menerbitkan beberapa artikel tentang Lasem di National Geographic serta mendirikan komunitas pecinta Lasem bernama Kesengsem Lasem. Pada tahun yang sama Agni mendirikan Yayasan Lasem Heritage untuk meningkatkan kesadaran pelestarian warisan budaya di Lasem. Sejak 2018 sampai saat ini komunitas dan yayasan memberikan pendampingan untuk 72 rumah batik serta 1.126 karyawannya, kegiatan yang mencakup pada 5 desa dan 19.458 orang.
Margaretha Subekti (Labuan Bajo)
Margareta Subekti biasa akrab dipanggil dengan panggilan Oma Bekti. Lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 62 tahun lalu, dan saat ini Oma Bekti menjadi salah satu tokoh wanita inspiratif dari Labuan Bajo. Oma Bekti merupakan lulusan dari Akademi Pembangunan Masyarakat Yogyakarta pada tahun 1985. Tahun 1990 Oma bekti bergabung dengan Yayasan Solidaritas Sedon Senaren Lamaholot dan aktif memberikan pendampingan bagi perempuan korban KDRT. Kemudian pada tahun 2011 mulai menetap di Labuan Bajo. Tahun 2014 Oma Bekti mendirikan Rumah Pekerti dan Koperasi Usaha Sampah untuk memberdayakan perempuan dan terlibat langsung menangani isu sampah. Selama empat (4) tahun berselang, KSU Sampah Komodo mengirimkan sampah ke Surabaya seberat 10,8 ton untuk didaur ulang. Saat ini Oma Bekti mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kab. Manggarai sebagai pelopor daur ulang sampah di Kab. Manggarai Barat. Oma Bekti berkomitmen menjaga lingkungan dan terus memupuk kesadaran masyarakat akan isu sampah di Labuan Bajo. Berbagai edukasi rutin diadakan untuk anak-anak mengenai pengelolaan sampah dan kegiatan ramah lingkungan lainnya.
Sri Rahayu Hasiba (Kuta Mandalika)
Shilla panggilan akrab Sri Rahayu Hasiba pada awalnya merasa tertantang untuk menekuni dunia selancar karena olahraga selancar identik dengan image olahraga yang hanya bisa dan cocok dilakukan oleh laki-laki. Pada mulanya di tahun 2006 Shilla bersama suami menetap di Lombok karena ingin menjelajahi pantai-pantai di kawasan Kuta Mandalika. Shilla juga menyempatkan diri bergabung dengan komunitas Putri Ombak di Bali. Shilla begitu aktif berselancar dan berburu ombak di berbagai pantai. Ia pun bergabung menjadi anggota Komunitas Perempuan Peselancar – Puteri Ombak pada tahun 2011. Tidak hanya itu, pada tahun 2014 Shilla turut mendirikan Kartini Go-Surf dimana hadirnya komunitas Perempuan Peselancar ini adalah untuk mengenalkan budaya pakaian Indonesia yakni kebaya sekaligus agar lebih banyak perempuan Indonesia tidak takut mencoba olahraga berselancar. Hingga kemudian Kartini Go Surf mulai popular di kalangan publik pada tahun 2019. Di tahun 2023, Shilla sukses mengadakan Kartini Go Surf di Kuta, Bali. Dari perjalanan tersebut, kini Shilla memilih jalan hidup mengembangkan pariwisata di Kuta Mandalika melalui terbaran “virus cinta” olahraga surfing, serta aktif menjadi pelatih surfing untuk perempuan.
Putu Ayu Pupawardani (Klecung Eco Village)
Kegelisahan Aniek akan kampung halamannya yang mulai dijajaki pihak villa dan resort, sehingga membuat anak-anak kehilangan tempat bermain alamiahnya. Aniek mencari cara agar kampung halamannya tidak jatuh ke tangan pihak luar dengan eksploitasi besar-besaran. Dari kegelisahaan itu terbentuklah ide untuk membangun Klecung Eco Village atau Desa Wisata Tegal Mengkeb. Setelah itu Aniek mulai memetakan potensi dan keunggulan desanya menggunakan metode analisis SWOT untuk dikembangkan secara optimal. Putu Ayu Puspawardani atau disapa akrab Aniek ini lahir 7 Mei 1979 di Malang, Jawa Timur. Tahun 2002 setelah lulus kuliah Aniek kemudian bekerja dan menetap di Surabaya. Pada tahun 2015 Aniek menjadi inisiator Desa Wisata Tegal Mengkeb. Tahun 2019 Aniek terpilih sebagai peserta Indonesia Grassroots Accelerator yang diadakan oleh Women’s Earth Alliance. Hingga saat ini Aniek berupaya mewujudkan museum digital untuk mendokumentasikan budaya Tegal Mengkeb agar terus terjaga kelestariannya. Dalam perjalanannya tentu terjal sering dihadapi Aniek dalam membangun dan mengantarkan kampungnya menjadi Desa Wisata, terutama ketika ide itu datang dari seorang perempuan. Karena di lingkungan kehidupan sosial masyarakat setempat, laki-laki memiliki peranan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun berkat kegigihannya, kini jerih payahnya mulai terbayarkan melalui berbagai penghargaan yang diperoleh serta testimoni positif dari wisatawan yang datang. Aniek telah berhasil memberdayakan masyarakat dari kampungnya sendiri, dan itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi perempuan tersebut.
Unik Winarsih (Desa Wisata Duren Sari)
Unik Winarsih kerap dipanggil Unik terpilih sebagai ketua Pokdarwis Desa Duren Sari yang baru saja didirikan pada tahun 2015. Di tahun berikutnya, ia menggerakkan Pokdarwis untuk menawarkan paket wisata desa berbasis masyarakat. Pada tahun 2019, Unik berhasil membawa Desa Wisata Durensari menjadi Juara III kategori Homestay Terbaik di tingkat provinsi Jawa Timur. Tahun 2020, Desa Wisata Duren Sari terpilih sebagai salah satu desa wisata terbaik nasional dengan konsep CBT (Community based tourism). Tidak hanya itu saja, pada tahun 2023, Desa Wisata Duren Sari masuk dalam 75 Besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Hal ini dilatarbelakangi dari rasa optimism Unik bersama warga Sawahan dalam melihat konsep desa wisata sebagai sebuah peluang untuk mengembangkan desa. Mereka kemudian sepakat mengambil tantangan untuk mulai membangun desa wisata. Diawali dengan pembentukan kelompok sadar wisata (POKDARWIS) Duren Sari pada November 2015, Unik kemudian ditunjuk Unik dan dipercaya menjadi ketua Pokdarwis tersebut hingga sekarang. Keberhasilannya dalam menyambut tamu pertama menumbuhkan rasa percaya diri serta optimis yang makin meningkat yang ditularkan pada anggotanya di Pokdarwis Duren Sawit. Ia dan anggota lain cukup jeli dalam menilai kesenangan tamu. Dari tipikal tamu yang tertarik dengan wisata alam, maka Unik bersama anggota kelompok Pokdarwis mulai membuat paket wisata yang memfasilitasi wisatawan untuk beraktivitas di alam terbuka. Misalnya saja ikut perayaan panen raya buah duren, bermain air di sungai, dan lain-lain.
Yuliza Zen (Desa Wisata Kubu Gadang)
Liza merupakan panggilan akrab Yuliza Zen, Kuliah akuntansi di Fakultas Ekonomi UIN Mahmud Yunus Batusangkar di Tanah Datar, Sumatera Barat. Bersama Pokdarwis Yuliza mendirikan Desa Wisata Kubu Gadang tahun 2015. Tahun 2017 ia merintis Pasar Digital untuk Desa Wisata Kubu Gadang yang hingga akhirnya mengantarkan Yuliza memperoleh prestasi sebagai Juara II Pemuda Pelopor Nasional Bidang Pariwisata. Di tahun berikutnya ia terpilih menjadi perwakilan Pemuda Inspiratif Sumatera Barat. Tidak hanya itu saja, ia juga dipilih sebagai Perempuan Inspiratif Padang Panjang tahun 2019. Hingga kemudian, berselang beberapa tahun Liza berhasil membawa Kubu Gadang menjadi salah satu dari 75 desa wisata terbaik tingkat Nasional dengan predikat: Desa Wisata Kategori Maju tahun 2023. Saat ini Liza Tengah menyelesaikan tesis tentang pariwisata berkelanjutan untuk meraih gelar master di bidang Ekonomi di samping kesibukannya mengurus Pokdarwis Desa Wisata Kubu Gadang. Bermodal semangat dan tekat kuat, Liza bersama beberapa pemuda di kampungnya mulai mempromosikan Kubu Gadang sebagai Destinasi Pariwisata Budaya agar desa yang semula tidak dikenal ini dapat menjadi salah satu destinasi tujuan bagi para pelancong yang ingin belajar tentang kebudayaan Sumatera Barat.
Margareta Mala (Desa Wisata Menua Sadap)
Margareta Mala akrab dipanggil Mala, lahir di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada 24 Mei 1995. Mala sudah menguasai teknik menenun saat masih belia yakni di usia 15 tahun. Ia kemudian bergabung dengan Endo Segadok, sebutan untuk kelompok ibu-ibu penenun di Dusun Sadap. Yang menjadi keunikan dan value dari hasil kain tenun Desa Sadap ini adalah bahan pewarna yang menggunakan pewarna alamiah dari tumbuhan di kebun Etnobotani yang ada di Dusun Sadap. Kebun ini merupakan kebun yang dibuat oleh Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum di tahun 2018. Pada tahun 2019, Mala mulai berani mengambil langkah memimpin komunitas tenun Endo Segadok sekaligus memimpin kelompok Srikandi Pelestari Tradisi dan Konservasi di Kalimantan Barat. Hasilnya, di tahun 2020 mendapatkan penghargaan “Tunas Kehati Award” dari Yayasan Kehati. Tidak berhenti di situ saja, pada tahun berikutnya yakni 2021 Ia mengikuti sebuah program pembelajaran bernama BEKAL (Bersama Kelola Alam Adil Lestari) dan dinyatakan lulus oleh Pimpinan Yayasan Upaya Indonesia Damai. Hingga saat ini, Mala masih berperan aktif mendalami tradisi tenun untuk melestarikan tenun tradisional Dayak Iban yang ramah lingkungan dan memiliki keunikan tersendiri pada setiap motifnya. Tidak hanya mengunggulkan nilai kearifan lokal dan ramah lingkungan, Mala juga menerapkan pengendalian mutu dan quality control agar dapat bersaing dengan wastra lain. Seperti misalnya mengarahkan para penenun untuk menghasilkan kain yang lebih halus serta tidak menimbulkan rasa gerah ketika digunakan.
Agrapina Sanggur (Desa Wisata Soinrat)
Lahir di Maluku Tenggara, Maluku (18 Mei 1997). Phina, panggilan akrab Agrapina Sanggur merupakan lulusan Diploma 4 Usaha Perjalanan Wisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta pada tahun 2019. Kemudian Ia mulai mengukir prestasi sejak tahun 2020 untuk menjadi ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Soinrat. Phina telah membawa Soinrat menjadi Juara I Lomba dalam CHSE 2021, membawa Soinrat masuk 300 Besar ADWI 2021 dan 2022. Kemudian pada tahun 2022 Phina bergabung dengan komunitas ExotiKei, konsultan perjalanan yang mempromosikan pariwisata Pulau Kei. Pada tahun 2023, Ia juga membawa Soinrat meraih juara II kategori daya tarik pengunjung dalam ADWI, mengelola desa wisata Soinrat dan menyelenggarakan festival budaya tahunan Yail Vat Morlean, serta menjadi pengajar di SMK Pariwisata. Phina dengan latar belakang pendidikan pariwisata dan panggilan untuk membawa Soinrat lebih maju dalam dunia pariwisata, Ia sangat jeli dalam melihat potensi yang dimiliki Soinrat dan mengambil peluang di kala pandemi. Phina bersama dengan pokdarwis Soinrat mengembangkan wisata alam sebagai daya tarik utama dengan melibatkan kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak untuk membangun paket wisata dari mulai aktivitas, fasilitas, hingga mempersiapkan akomodasi.
Sri Mujiyati (Yogyakarta)
Sri Mujiyati akrab dipanggil Uji, merupakan lulusan SMK Negeri 4 Pariwisata di Yogyakarta. Pada tahun 2003, Uji memulai perjalanannya di bidang pariwisata dengan bergabung dengan Via Via Jogja sebagai pemandu wisata. Merasa memiliki ketertarikan terhadap bidang ini, Ia Kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 dengan jurusan Hubungan Internasional di UPN Veteran Yogyakarta tahun 2009. Tak sampai di situ, Ia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yakni S2 Magister Kajian Pariwisata di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Setelah cukup lama bekerja di Via-Via Travel, pada tahun 2015 Uji dipercaya menjabat sebagai direktur Via-via Jogja dan bertanggung jawab atas pengoperasian tour operator, pengembangan paket wisata, program peningkatan kapasitas SDM, dan program sosial yang melibatkan masyarakat. Kemudian pada tahun 2018 sampai 2021, Ia mulai terlihat mengukir prestasi seperti: bertugas sebagai asesor Jana Dharma Indonesia, mengikuti pelatihan pariwisata berkelanjutan GSTC 2018 di Bangkok, mendapat program sertifikasi pelatihan profesi, serta menjadi peserta National Assessor ASEAN Toolbox 2021. Seja Ia bergabung dengan ViaVia Jogja, Uji semakin mengerti kemana arah hidupnya. Via-Via Jogja telah mendidik karyawan sesuai dengan prinsip ecological tourism, hal ini sesuai dengan nilai yang dipedomani oleh Uji. Tidak hanya tentang membuat itinerary tour, tetapi juga ikut memberdayakan komunitas lokal, menciptakan lingkungan berkelanjutan dan memprioritaskan pengalaman wisatawan maupun tuan rumah. Sri Mujiyati juga memiliki mimpi untuk mendorong Kepemimpinan Perempuan di sektor pariwisata. Hal ini diwujudkan dengan kebijakan Via-Via Jogja terhadap komposisi pekerja yang melibatkan 70% perempuan dan 30% laki-laki. Komposisi ini bukanlah bentuk diskriminasi terhadap laki-laki, tetapi sebagai upaya mengatasi kesenjangan untuk keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam industri pariwisata.
Enggelina Dimara (Desa Wisata Saporkren)
Lahir di Raja Ampat, Papua Barat Daya (29 November 1972). Engelina Dimara sejak tahun 2009 sudah terlibat di dalam dunia pariwisata, dari mulai melakukan pengelolaan terumbu karang hingga terlibat dalam lembaga keuangan mikro. Kemudian, Ia mendirikan homestay dengan total 7 kamar pada tahun 2010, dan di tahun 2012 turut mendirikan asosiasi Homestay Raja Ampat. Engelina Dimara mengikuti program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang COREMAP untuk Desa Saporkren di tahun 2019. Pada tahun 2020, Ia ikut menggerakkan perempuan Desa Saporkren untuk membuat dan menjual produk makanan dari bahan lokal ketika pandemi melanda. Hingga tahun 2023 Ia pun aktif terlibat dalam berbagai kegiatan terkait pengelolaan desa wisata yang berkelanjutan. Enggelina Dimara yang akrab dikenal sebagai Mama Engge, sangat jeli melihat peluang dan membaca ke mana arah perubahan. Ia melihat perubahan seperti pedang bermata dua, dapat membawa kebaikan sekaligus mengancam. Dari donat ke guesthouse, melalui homestay, Mama Engge tidak hanya menggerakkan masyarakat untuk memaksimalkan potensi pariwisata, tetapi juga berjuang melawan kerusakan yang mengancam tanah leluhur. Dengan memberdayakan mama-mama saporkren dan menginisiasi kegiatan melestarikan hutan serta terumbu karang.
Kelebihan Buku
Mengangkat kisah asli dari berbagai suku dan latar belakang dari 10 perempuan terpilih di Indonesia, membuat para pembaca merasa dapat terhubung dengan kisah yang terjadi dan dialaminya. Penataan bahasa yang digunakannya cukup mudah dipahami. Buku ini banyak sekali memberikan pelajaran dan inspirasi bagi perempuan, salah satunya adalah untuk tetap menjadi diri sendiri dan terus berjuang sesuai dengan kata hati untuk berkontribusi pada tanah air. Selain itu, melalui buku ini, kita juga diajarkan untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif, serta pantang menyerah dalam menghadapi dinamika di lapangan dan menghadapi berbagai karakter manusia. Kisah yang disampaikan sederhana namun memiliki arti yang mendalam. Tidak hanya itu, destinasi di Indonesia yang jarang dipopulerkan menjadi lebih menonjol dengan adanya buku ini. Tentunya secara tidak langsung Kemeparekraf telah sukses mempromosikan destinasi wisata di Indonesia dengan menceritakan kisah sukses pembangunan di baliknya.
Kekurangan Buku
Pada beberapa cerita terdapat istilah lokal tertentu yang tidak disertai penjelasan, selain itu juga ada beberapa kesalahan penulisan (typo).
Kesimpulan
Buku ini merupakan inisiasi yang bagus untuk mendongkrak semangat dan mengapresiasi karya di bidang pariwisata dari para perempuan penggerak di Indonesia. Buku ini juga cocok bagi pembaca yang tertarik pada kisah perjuangan perempuan pantang menyerah juga memiliki dedikasi untuk mengubah nasib desanya dengan tetap menjaga kearifan lokal. Kisah di dalamnya mampu menggetarkan emosi pembaca dengan baik. Banyak yang beranggapan bahwa menjadi perempuan akan menjadi pembatas untuk melakukan sebuah gebrakan baru, namun setelah membaca buku ini pemikiran−pemikiran tersebut akan berganti dengan rasa kagum dan semangat yang tertular dari penuturan para sosok dalam membangun desanya.